Thursday, October 14, 2010

Kalau boleh jujur saya kecewa dengan sikap Anda. Semula, saya pikir Anda sudah cukup memiliki pengalaman yang dapat dibagikan kepada kami. Para Pemuda Gereja.

Malam itu, Ayah saya akhirnya tiba di rumah setelah sekian lama berada di luar rumah. Katanya sih untuk rapat bersama teman-temannya yang lain. Rumah kembali ‘hidup’ dengan kehadiran Ayah saya. Namun, tidak lama beliau menanyakan satu hal yang membuat saya cukup lama terdiam dan akhirnya tertawa miris. Pertanyaan yang sangat spesifik yang menurut saya tidak layak untuk dituliskan di kolom ini. Saya yang tadinya terhenyak, hanya dapat bertanya kembali mengenai siapakah gerangan yang menanyakan hal tersebut. Beliau tidak menjawab. Beliau hanya memberikan tatapan ‘tolong jangan tanyakan hal ini lagi kepada saya’. Baiklah, saya mengalah dan tidak memperpanjang hal itu. Namun, Ibu saya yang cukup penasaran mulai menebak dan membahas asal muasal pertanyaan tersebut. Ayah saya, sekali lagi, hanya bisa ‘kabur dari perbincangan ini untuk ‘menjenguk’ sahabat barunya di dalam sebuah kotak transparan besar yang diterangi oleh berbagai warna lampu. Saya hanya bisa tertawa miris dalam obrolan lanjut dengan Ibu saya.

Ibu saya akhirnya masuk ke kamar untuk melanjutkan tidurnya. Ayah saya yang masih penasaran dengan sahabat-sahabat barunya masih berusaha mengajak ngobrol mereka. Hingga beliau bertanya akan satu hal kepada saya, dan saya hanya menjawab pendek. Dan jutek. Saya akui, saya cukup marah dengan adanya pertanyaan yang diajukan oleh teman Ayah saya yang baru saja ditemuinya itu. Entah mengapa, saya juga kecewa. Bagaimana bisa seorang yang sudah saya anggap sangat senior dalam bidang yang sedang saya geluti ini, mempertanyakan tujuan kegiatan yang (mungkin juga) pernah dia lakukan pada masanya. Entah apa namanya perasaan yang saya rasakan hingga saat saya menulis tulisan ini.

Kalau boleh saya utarakan semua yang pernah Anda pertanyakan mengenai ‘keberadaan’ kami bisa-bisa tulisan ini tidak akan selesai mungkin. Mohon maaf jika Anda tersinggung. Namun, itulah yang saya rasakan. Mohon maaf juga apabila secara tidak sengaja Anda membaca tulisan ini, dengan atau tanpa ‘bimbingan’ orang lain. Seperti kata teman baik saya, “Kalau lo berani nulis di blog, lo harus berani juga menanggung resikonya.” Saya tidak bisa mengatakan bahwa saya berani. Saya juga tidak dapat mengatakan kalau saya takut. Tapi inilah saya dengan perasaan yang sangat sesak di dalam dada. SAKIT. SESAK. Tahukah Anda bagaimana rasanya itu? Pernahkah Anda merasakan kesakitan dan kesesakan itu? Pernahkah Anda berada dalam posisi tersebut? Hanya Anda dan Tuhan-lah yang tahu.

Saya menulis di sini bukan maksud untuk menjelek-jelekkan Anda. Menghina atau bahkan menyindir Anda. Saya menulis di sini hanya agar Anda tahu bahwa pertanyaan yang Anda ajukan tersebut mengandung buah simalakama yang termakan dalam keluarga kami, khususnya Ayah saya. Buah simalakama yang sangat pahit. Di satu sisi, Ayah saya hanya menanyakan kejelasan mengenai tujuan kegiatan kami tersebut. Dan dia harus mengambil resiko untuk menyembunyikan identitas teman-temannya tersebut. Dengan alasan tidak mau anggota keluarganya, termasuk anaknya yang sangat disayanginya ini membenci orang lain. Namun di sisi lain, secara tidak sengaja saya menjadi jengkel dengan beliau. Mengapa dia harus menanyakan hal seperti itu, yang notabene saya pikir beliau sendiri sudah tahu apa yang kami lakukan. Akan tetapi, dia bertanya hal itu hanya untuk meluruskan masalah yang timbul saya pikir.

Ah sudahlah, apapun itu. Bagaimanapun itu. Nasi sudah menjadi bubur, Pak! Saya yang tadinya cukup mengidolakan Anda dan selalu berusaha untuk berpikir positif mengenai Anda sekarang harus kecewa dengan hal ini. Cukup kecewa. Salah. Sangat kecewa.

In case, Anda ingin tahu mengenai ‘tujuan dari keberadaan serta kegiatan-kegiatan’ kami, ada baiknya ditanyakan langsung kepada kami. Pihak-pihak yang terkait langsung. Sumber primer. Bukan sumber sekunder. Yang melakukan hal tersebut. Yang merasakan apa yang kami lakukan. Yang mencoba untuk berempati kepada orang-orang yang kami kasihi.

Semoga dengan adanya kejadian ini, kami –pihak pihak yang terkait langsung—dapat selalu belajar untuk menjadi dewasa, khususnya dalam Tuhan.

(Even me, can't give a damn title from this story :|)

No comments:

Post a Comment