Saturday, March 13, 2010

Saya sayang Bapak!

Beberapa hari terakhir, orang tua saya sibuk dengan telepon genggamnya masing-masing, dimana biasanya mereka tidak se-intens itu dalam menggunakan benda mungil itu. Yang saya tahu hari Minggu besok tanggal 14 Maret 2010 akan ada periodisasi Majelis dan BPH di Gereja saya untuk 5 tahun ke depan. Salah satu kesimpulan saya, iya pasti mereka sedang membicarakan mengenai hal tersebut. Apa lagi.

Periodisasi Majelis serta BPH yang terkait di dalamnya dilakukan oleh Gereja saya setiap 5 tahun sekali. Di sini akan terjadi pemilihan bagi Guru Jemaat, Wakil Guru Jemaat, Bendahara, Sekretaris beserta wakilnya masing serta ketua-ketua Seksi lainnya. Yang menjadi sorotan saya di sini yakni isi pembicaraan kedua orang tua saya yang juga menunjukkan keintensitasan yang meningkat dalam komunikasi di antara mereka. Sebenarnya apa sih yang mereka bicarakan belakangan ini? Segitu hebohnyakah periodisasi tahun ini hingga mereka 'agak sedikit' menelantarkan komunikasi dengan kami, anak-anaknya? Oke, mungkin ada baiknya mereka agak sedikit menelantarkan kami. Contohnya, saya bisa dengan konsentrasi penuh mengerjakan si pacar baru, yakni Mr. S (miris). Abang saya juga terkena 'imbas'-nya, yang biasanya jam 11 malam sudah di telfon hanya untuk ditanyakan keberadaannya, sekarang jadi agak sedikit terlewat mungkin karena pikiran-pikiran yang berkecamuk di dalam otak mereka masing-masing.

Tapi di balik semua 'keenakan' itu, saya memiliki perasaan yang entah apa namanya, di samping kuantitas dan kualitas komunikasi yang terjadi di antara kami. Setiap malam, mereka berbicara mengenai hal yang sama, yakni siapa yang akan menjadi Guru Jemaat berikutnya, bagaimana periodisasi akan berlangsung, kira-kira siapa yang akan menjadi calon Ketua seksi X, Ketua Seksi Y, untuk apa ada Seksi Z, serta sampailah pada pernyataan dimana Bapak saya sendiri yang akan menjadi salah satu calon Guru Jemaat tersebut. Grrrr. Ternyata kesini tokh ujung pembicaraan mereka selama ini. Saya tidak menyalahkan Bapak saya yang tergerak untuk menjadi salah satu calon Guru Jemaat tersebut, karena itu merupakan pekerjaan di Ladang Tuhan. Kenapa tidak? Menurut cerita Bapak, dia sudah direkomendasikan oleh beberapa orang dari berbagai kaum di Jemaat meskipun bukan dia yang sebenarnya yang ingin mencalonkan diri. Dia juga sudah melakukan perbincangan-perbincangan baik dengan beberapa orang maupun dengan pribadi lepas pribadi, termasuk istri dan anak-anaknya. Dari semua yang ditanyai pendapatnya, (tampaknya) mereka semua mendukung Bapak. Kami (khususnya saya) hanya berkata jika Bapak memang menjadi tergerak hatinya untuk melakukan pelayanan itu, Bapak harus bisa introspeksi diri dan berserah kepada Tuhan. Dengan adanya dukungan tersebut, Bapak menjadi lebih terbuka dengan pergumulan yang telah dipercayakan kepadanya itu. Namun, justru saya menjadi takut, khawatir, atau entah apalah itu namanya. Dengan keadaan Jemaat di Gereja saya yang memang harus diakui bahwa semua orang di dalamnya bisa menjadi ular berkepala domba (nah gimana coba kan tuh?), Bapak tidak akan tahu bagaimana rasanya menghadapi semua ular berkepala domba tersebut. Bapak akan merasa kewalahan sendiri dengan beban kerja itu. Dengan kepribadian Bapak yang seperti itu, mungkin Bapak akan lepas diri. Meskipun harus diakui juga, keluarga kami telah menetap dan menjadi anggota di dalam Gereja ini sejak mereka merantau ke Jakarta. Rumah kami yang terbilang cukup jauh untuk mencapai lokasi Gereja, tidak menyurutkan langkah kami untuk selalu datang beribadah setiap minggu. Tapi tetap kekhawatiran seorang anak akan Bapak-nya yang (seakan-akan) akan berperang di medan perang tidak akan sirna. Bagaimana jika Bapak tidak bisa menjadi gembala yang baik di tengah Jemaat? Lalu, jika Bapak gagal, bagaimana pendapat para Jemaat? Omongan-omongan 'miring' yang sudah sering terdengar bahkan di antara jemaat sendiri sudah cukup membuat hati saya menjadi keras. Bukan maksud untuk men-diskreditkan Bapak, tapi saya mengetahui pasti pendapat bahkan stigma yang akan muncul nantinya jika Bapak tidak berhasil menjadi gembala di antara para domba-Nya. Itu semua karena saya sayang Bapak. Saya tidak mau Bapak memiliki nilai bahkan citra yang buruk di hadapan mereka yang mungkin mereka sendiri tidak bisa melakukannya!

Apa daya, tampaknya pergumulan Bapak untuk bisa mengembalikan citra Gereja kami sebagai Rumah Tuhan yang harus selalu menyebarkan Injil-Nya tidak bisa dibendung lagi. Bapak (tampak) menjadi ambisius, tapi saya yakin Bapak tetap meminta pertolongan kepada Roh Kudus untuk bisa memimpin hati Bapak dalam berpikir bijaksana. Apapun, bagaimanapun hasilnya hari Minggu besok, saya minta kepada Bapak untuk selalu berkhikmat kepada satu nama, yaitu Tuhan Yesus. Tuhan memberkati Bapak selalu dalam segala pekerjaan serta rancangan-Nya! Kami selalu mendukungmu ya, pak! Heart you pak! :)



Yak and the result was.. Bapak saya menjadi Guru Jemaat di Gereja -_-" Selama persidangan berlangsung, pikiran saya dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai bagaimana ini si Bapak nanti yaa? Sampai akhirnya, kami sampai di rumah dengan sangat lelah karena persidangan yang cukup memakan waktu. Tidak lama setelah saya mandi, ada sms masuk dari seeorang teman di gereja menanyakan nomor telepon rumah saya. Katanya mamanya yang menanyakan hal tersebut. Tanpa berpikir panjang, saya langsung membalas sms itu dan memang sedetik kemudian telepon rumah saya berdering. Ow, dari si mamanya teman saya yang mau berbicara dengan Bapak. Bapak dan yang lain memang sedang menyantap makannya, ketika telepon rumah berdering. (lagi-lagi) tanpa pikir panjang, saya yang mengangkat telepon pertama kali langsung mengopernya kepada Bapak. Bapak sempat kesal karena sedang makan. Namun, bukan itu poinnya. Tidak lama ia berbicara di telepon, suaranya semakin lama semakin kencang dan terdengar tidak santai. Saya yang sedang menonton tv, tersentak dan tanpa sadar mengeluarkan air mata. Untung saya sedang memakai kacamata, jadi tidak terlihat! Haha. Tidak lama, suara Bapak mulai merendah kembali yang akhirnya pembicaraan di telepon selesai.

Saya tahu apa yang mereka bicarakan, tapi saya lebih memilih untuk tidak mencari tahu lebih lanjut mengapa hal tersebut bisa terjadi. Tokh pasti kedua orang tua saya membicarakannya di meja makan yang tepat berada di belakang saya. Jadi, saya hanya berani curi-curi dengar (haha). Hal di atas hanya salah satu contoh kasus yang akan menjadi makanan sehari-hari Bapak sebagai Guru Jemaat. Akan banyak lagi terpaan-terpaan yang saya rasa juga akan menjadikan Bapak menjadi seorang yang lebih tangguh dan sabar lagi dalam bersikap. Semoga Bapak bisa kuat dan diberi kekuatan untuk bisa menghadapinya dengan bijak selama 5 tahun ke depan! Good luck pak, God bless and leads you! :)

No comments:

Post a Comment